24.12.14

Review Movie: Pendekar Tongkat Emas


Kurang lebih seminggu lalu saya menonton film adaptasi dari novel super keren karya Dewi Lestari: Supernova. Filmnya Jelek banget. Saya lalu mewanti-wanti diri sendiri agar lebih berhati-hati memilih film lokal untuk ditonton. Bukan, bukan karena tidak mendukung karya-karya anak negeri, buat saya bersikap kritis dan jujur juga adalah bentuk dukungan. Film jelek ya bilang jelek. Harapannya ke depan sineas perfilman lebih tidak "asal jadi" dalam memproduksi sebuah film. Namun sikap wanti-wanti saya seperti enggan berkata tidak untuk karya terbaru Mira Lesmana dan Riri Riza ini: Pendekar Tongkat Emas.Ada Apa Dengan Cinta, Gie dan 3 hari Untuk Selamanya jadi acuan saya bahwa karya-karya yang diproduseri mereka adalah karya yang wajib dinikmati. Ifa Isfansyah (Sutradara Sang Penari) yang di dapuk sebagai sutradara juga menjadi kredit tersendiri bahwa menonton film ini adalah suatu kewajiban. Saya masih belum menuliskan aktor dan artis papan atas yang terlibat dalam film ini yang pasti akan membuat anda menelan ludah ketika medengarnya: Christine Hakim, Reza Rahardian dan Nicholas Saputra.

Pendekar Tongkat Emas adalah film yang membangkitkan memori. Terutama bagi anda pecinta film kolosal 90-an seperti Wiro Sableng atau Si Buta Dari Gua Hantu. Memori anda dibangkitkan dengan kualitas yang jauh lebih baik pastinya, level yang berbeda. Saya sendiri sangat menikmati nostalgia ini. Formula cerita film ini sebenarnya tidak baru-baru amat, sangat sederhana dan cenderung klasik malah: masih tentang dunia persilatan yang penuh pengkhianatan, balas dendam dan pesan moral bahwa yang jahat pasti akan kalah. Yang hebat adalah Ifa dan Miles membuktikan bahwa hal sederhana dan klasik jika dieksekusi dengan serius dapat menjadi sesuatu yang luar biasa. Kendati klasik dan kita bisa menebak akhir ceritanya, scene demi scene menuju kemenangan sang protagonis sangat jauh dari kata membosankan. Bagaimana mereka mampu menyulap penulis puisi melankolis macam Rangga, menjadi lelaki ahli beladiri bernama Elang atau bagaimana mereka menjadikan gadis se-unyu Eva Celia, menjadi pendekar berhati keras bernama Dara jelas tidak semudah membayar Sora Aoi atau Shasa Grey untuk menarik perhatian penonton yang isi otaknya hanya film-film 3gp saja. Ada cinta, tekad dan keseriusan yang penuh dari setiap individu di balik terciptanya film ini.
 

Saya meyakini bahwa usaha aktor dan artis sangat luar biasa dalam penggarapan film ini. Nicholas Saputra, Reza Rahardian, Eva Celia, Christine Hakim dan Tara Basro yang sejatinya tidak memiliki background beladiri apapun menjadi begitu lihai berkelahi dengan tongkat adalah sesuatu yang layak diberi tempuk tangan sambil berdiri. Melihat betapa lihainya aktor dan artis drama ini berkelahi, saya jadi geli sendiri. Harusnya jago-jago beladiri di film The Raid bisa juga, sedikit-dikitnya, belajar dan bermain drama dengan baik. Di film ini, Eva Celia mencuri perhatian saya. Aktingnya memang belum sematang Prisia Nasution yang secara manis muncul tiba-tiba sebagai cameo, namun gestur dan mimik Eva dalam berakting seperti jujur dan natural. Jarang yang terlihat dibuat-buat. Untuk Reza Rahardian, Nicholas Saputra dan Christine Hakim saya hanya bisa bilang: kalian luar biasa. Hanya Tara Basro yang menurut saya kurang mampu mengimbangi yang lain. Agaknya kikuk karena mendapat lawan main Reza Rahardian. 
 
Sulit mengabaikan betapa besarnya peran landscap Sumba, Nusa Tenggara Timur, dalam film ini. Harus saya akui, pemilihan Sumba sebagai latar tempat adalah sebuah pilihan yang luar biasa. Selama hampir dua jam mata saya begitu dimanjakan pemandangan bukit, padang ilalang, sungai dan hutan Sumba. Detail rumah-rumah dan kostum para pemain yang "ndeso", sambil dengan cerdas diselipkan kekayaan budaya Indonesia, kain tenun Sumba, juga sangat membantu pembentukan kesan "jaman dahulu" yang dalam.


Film ini sangat layak untuk ditonton bagi anda yang menyukai sebuah suasana baru. Bukan tentang pocong, bukan juga tentang hijab yang dieksploitasi berlebih apalagi tentang suster yang keramas. Ini adalah film tentang Dunia Persilatan. Tema yang absen cukup lama dalam dunia perfilman Tanah Air. Maka, bernostalgialah. Bernostalgialah sambil menikmati banyak bonus tentang betapa maha-indahnya Sumba juga tentang betapa maha-manisnya mahluk bernama Eva Celia.

***

Saran saya: untuk mengapresiasi sebuah karya yang unik dan berkualitas baik seperti Pendekar Tongkat Emas ini, alangkah bijaknya kawan-kawan menyisakan waktu dan uang 30 ribu untuk pergi ke bioskop terdekat dan menonton film ini sebelum menyesal karena film ini keburu turun layar. Mengeluarkan 30 ribu untuk film Indonesia terbaik tahun ini jelas sangat murah :)