24.12.14

Review Movie: Pendekar Tongkat Emas


Kurang lebih seminggu lalu saya menonton film adaptasi dari novel super keren karya Dewi Lestari: Supernova. Filmnya Jelek banget. Saya lalu mewanti-wanti diri sendiri agar lebih berhati-hati memilih film lokal untuk ditonton. Bukan, bukan karena tidak mendukung karya-karya anak negeri, buat saya bersikap kritis dan jujur juga adalah bentuk dukungan. Film jelek ya bilang jelek. Harapannya ke depan sineas perfilman lebih tidak "asal jadi" dalam memproduksi sebuah film. Namun sikap wanti-wanti saya seperti enggan berkata tidak untuk karya terbaru Mira Lesmana dan Riri Riza ini: Pendekar Tongkat Emas.Ada Apa Dengan Cinta, Gie dan 3 hari Untuk Selamanya jadi acuan saya bahwa karya-karya yang diproduseri mereka adalah karya yang wajib dinikmati. Ifa Isfansyah (Sutradara Sang Penari) yang di dapuk sebagai sutradara juga menjadi kredit tersendiri bahwa menonton film ini adalah suatu kewajiban. Saya masih belum menuliskan aktor dan artis papan atas yang terlibat dalam film ini yang pasti akan membuat anda menelan ludah ketika medengarnya: Christine Hakim, Reza Rahardian dan Nicholas Saputra.

Pendekar Tongkat Emas adalah film yang membangkitkan memori. Terutama bagi anda pecinta film kolosal 90-an seperti Wiro Sableng atau Si Buta Dari Gua Hantu. Memori anda dibangkitkan dengan kualitas yang jauh lebih baik pastinya, level yang berbeda. Saya sendiri sangat menikmati nostalgia ini. Formula cerita film ini sebenarnya tidak baru-baru amat, sangat sederhana dan cenderung klasik malah: masih tentang dunia persilatan yang penuh pengkhianatan, balas dendam dan pesan moral bahwa yang jahat pasti akan kalah. Yang hebat adalah Ifa dan Miles membuktikan bahwa hal sederhana dan klasik jika dieksekusi dengan serius dapat menjadi sesuatu yang luar biasa. Kendati klasik dan kita bisa menebak akhir ceritanya, scene demi scene menuju kemenangan sang protagonis sangat jauh dari kata membosankan. Bagaimana mereka mampu menyulap penulis puisi melankolis macam Rangga, menjadi lelaki ahli beladiri bernama Elang atau bagaimana mereka menjadikan gadis se-unyu Eva Celia, menjadi pendekar berhati keras bernama Dara jelas tidak semudah membayar Sora Aoi atau Shasa Grey untuk menarik perhatian penonton yang isi otaknya hanya film-film 3gp saja. Ada cinta, tekad dan keseriusan yang penuh dari setiap individu di balik terciptanya film ini.
 

Saya meyakini bahwa usaha aktor dan artis sangat luar biasa dalam penggarapan film ini. Nicholas Saputra, Reza Rahardian, Eva Celia, Christine Hakim dan Tara Basro yang sejatinya tidak memiliki background beladiri apapun menjadi begitu lihai berkelahi dengan tongkat adalah sesuatu yang layak diberi tempuk tangan sambil berdiri. Melihat betapa lihainya aktor dan artis drama ini berkelahi, saya jadi geli sendiri. Harusnya jago-jago beladiri di film The Raid bisa juga, sedikit-dikitnya, belajar dan bermain drama dengan baik. Di film ini, Eva Celia mencuri perhatian saya. Aktingnya memang belum sematang Prisia Nasution yang secara manis muncul tiba-tiba sebagai cameo, namun gestur dan mimik Eva dalam berakting seperti jujur dan natural. Jarang yang terlihat dibuat-buat. Untuk Reza Rahardian, Nicholas Saputra dan Christine Hakim saya hanya bisa bilang: kalian luar biasa. Hanya Tara Basro yang menurut saya kurang mampu mengimbangi yang lain. Agaknya kikuk karena mendapat lawan main Reza Rahardian. 
 
Sulit mengabaikan betapa besarnya peran landscap Sumba, Nusa Tenggara Timur, dalam film ini. Harus saya akui, pemilihan Sumba sebagai latar tempat adalah sebuah pilihan yang luar biasa. Selama hampir dua jam mata saya begitu dimanjakan pemandangan bukit, padang ilalang, sungai dan hutan Sumba. Detail rumah-rumah dan kostum para pemain yang "ndeso", sambil dengan cerdas diselipkan kekayaan budaya Indonesia, kain tenun Sumba, juga sangat membantu pembentukan kesan "jaman dahulu" yang dalam.


Film ini sangat layak untuk ditonton bagi anda yang menyukai sebuah suasana baru. Bukan tentang pocong, bukan juga tentang hijab yang dieksploitasi berlebih apalagi tentang suster yang keramas. Ini adalah film tentang Dunia Persilatan. Tema yang absen cukup lama dalam dunia perfilman Tanah Air. Maka, bernostalgialah. Bernostalgialah sambil menikmati banyak bonus tentang betapa maha-indahnya Sumba juga tentang betapa maha-manisnya mahluk bernama Eva Celia.

***

Saran saya: untuk mengapresiasi sebuah karya yang unik dan berkualitas baik seperti Pendekar Tongkat Emas ini, alangkah bijaknya kawan-kawan menyisakan waktu dan uang 30 ribu untuk pergi ke bioskop terdekat dan menonton film ini sebelum menyesal karena film ini keburu turun layar. Mengeluarkan 30 ribu untuk film Indonesia terbaik tahun ini jelas sangat murah :)








12.3.14

Sriyo Ado Arta Tampubolon



“Don’t judge the book by it’s cover”


Kutipan yang termahsyur ini begitu sering dikutip oleh manusia di berbagai belahan bumi manapun. Kutipan yang menganalogikan manusia sebagai buku dan penampilan sebagai cover buku. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Satu tahun di Borneo dengan terpaksa saya harus mengutip kutipan mainstream ini. Tidak sudi sebenarnya, tapi harus diakui orang ini adalah contoh hampir sempurna (karena kesempurnaan hanya milik Tuhan semata) untuk kutipan di atas. Sriyo Ado Arta Tampubolon.

Saya tidak menyangka bisa berkawan dengan pria asal Medan ini. Di kampus kami hanya sama-sama tau, tidak intim seperti saat ini di Borneo, tempat kami bekerja. Intim adalah parameter saya dalam mengukur standarisasi perkawanan. Contoh: Sebuah perkawanan dinilai sangat kuat jika kita sudah nyaman saling meremas pantat masing-masing. Sering. 

Deskripsi pertama saat melihat Sriyo adalah laki-laki berwajah preman, bergaya urakan dengan penampilan yang asal-asalan. Anak buah John Key adalah deskripsi yang pas untuknya. Saya menyimpulkan hal ini tidak sendirian, beberapa teman yang mengenal Sriyo juga mengamini hal ini.
Saya sering berdiskusi, ah maaf maksud saya meminta saran, pada Sriyo. Dan saran-saran yang keluar dari pikirannya sangat tidak berkorelasi dengan penampilannya. Sriyo selalu mampu memberi masukan yang cemerlang sekaligus memotivasi. Harus saya akui dengan berat hati, pria bermuka preman satu ini sebijaksana Raja Salomo. Saya masih ingat sebuah diskusi singkat dengannya tentang “Persembahan” pada suatu malam yang senggang.

“Mbonk, gue pernah denger di lirik lagu , lupa judulnya apa, bahwa segala sesuatu yang kita berikan ke Tuhan itu harus yang terbaik. Abis denger dan memahami lagu itu, setiap gue persembahan, pasti gue ngasih yang terbaik dari dompet gue. Nggak mesti semua, Tuhan juga pasti ngerti, tapi yang terbaik. Nilai uang yang paling besar di dompet gue.”

Saya hanya bisa diam dan mengamini dalam hati. Sejak itu, saya juga melakukan hal serupa.
Soal cinta Sriyo juga nggak kalah bijak. 

“Yaelah Mbonk, kalo cinta lo datar-datar aja nggak ada yang bisa lo certain ke anak cucu lo nanti. Perjuangin. Nggak perlu menunggu tangan yang harus saling bertepuk. Kejar terus! siapa tau tangannya sedang menunggu tangan lo untuk menepuknya. Mungkin dia cuma mau lihat seberapa keras lo memperjuangkan dia”. Lagi-lagi saya hanya terdiam, merenung lalu tersenyum optimis. Bangsat betul memang orang Medan satu ini. 

Sriyo adalah salah satu hal asik yang saya temukan di Borneo. Dia mengajari tapi tidak menggurui, dalam segala ketaitaian-nya dia sangat perhatian, figur kawan serupa kakak yang selalu bisa diandalkan, juga partner berbuat jahat. Tidak melebih-lebihkan, saya belajar banyak dari laki-laki berwajah preman ini. Sangat banyak. Jangan salah sangka, saya bukan HOMO!  Hanya sekedar ingin sharing bahwa kualitas seseorang tidak melulu dilihat dari penampilan dan latar belakangnya. Bahkan Tuhan Yesus, yang sejatinya adalah Pencipta alam semesta, lahir ke bumi di kandang domba dan tumbuh dewasa dengan penampilan yang urakan toh? Gondrong dan brewokan…hehehe. Dengan penampilan dan latar belakangnya, Tuhan Yesus sempat dianggap remeh banyak orang sampai akhirnya mereka toh sadar bahwa Tuhan Yesus adalah Juru Selamat Dunia.

If you judge a book by its cover, you might miss out on an amazing story.

 

***

11.3.14

Hikayat Kakek Tua



Dulu waktu SD, saya pernah dimaki habis-habisan oleh seorang Kakek gara-gara bola yang saya tendang melewati pagar lalu merusak tembok rumah Si Kakek. Ya namanya bocah SD, ketika dimarahi cuma bisa ngedumel dan mengutuk dalam hati, “Dasar Kakek gila!”. Sejak kejadian itu saya mengibarkan bendera perang dengan Si Kakek. Tidak pernah sekalipun saya sudi menyapa Si Kakek saat berpapasan, melihatpun malas. 

SMP kelas 3, kalau tidak salah, entah berawal darimana tiba-tiba Mama bercerita soal Si Kakek. Si Kakek adalah seorang duda yang tidak mempunyai anak. Istrinya meninggal dunia akibat  sakit saat usia pernikahan mereka masih terbilang baru. Si Kakek tidak menikah lagi dan tinggal sendirian di rumah itu dibantu seorang pembantu yang mengurus rumah dan kebutuhan Si Kakek, namun tidak tinggal di rumah tersebut. Mendengar hal tersebut, saya jelas tidak lagi heran betapa murkanya Si Kakek saat saya merusak rumahnya. Menurut kita mungkin bangunan itu adalah rumah biasa, tapi bagi Si Kakek bangunan itu adalah kenangannya bersama sang istri, yang tidak boleh dikotori apapun, siapapun.

Cerita Si Kakek ini agak mirip dengan cerita film kartun favorit saya. Film kartun termanis yang pernah diciptakan dalam sejarah peradaban umat manusia, UP.

***
Diceritakan bahwa Carl Federicksen adalah seorang bocah pemalu yang jauh di lubuk hatinya menyukai petualangan. Secara kebetulan Carl dipertemukan dengan cewe tomboy bernama Ellie. Karena keduanya sangat menyukai petualangan dan mengidolakan Charles Munts, seorang penjelajah, jadilah mereka teman dekat. Mereka membuat perjanjian bahwa suatu saat mereka akan berpetualang ke Paradise Falls, menyusul idola mereka. Singkat cerita, dua karakter yang sangat berbeda ini tumbuh dewasa dan menikah.

Diiringi musik ceria, kehidupan mereka yang diperlihatkan tanpa dialog terlihat sangat bahagia. Terlihat di setiap scene kebahagian mereka menjalani hidup berdua sebagai suami istri. Lalu seperti pasangan suami istri pada umumnya, mereka menginginkan kehadiran seoarang anak untuk menyempurnakan keluarga kecil mereka. Namun, saat telah mempersiapkan segalanya kenyataan berkata lain. Dokter menyatakan bahwa Ellie tidak bisa hamil. Ellie menangis, Carl tertunduk diam. Seketika musik menjadi lebih lambat dan sedih.

Melihat istri kesayangannya terus-terusan hanyut dalam kesedihan, Carl mengingatkan Ellie akan obsesi lama mereka, berpetualang mencari Paradise Falls di Amerika Selatan. Ellie pun tersenyum kembali, seketika musik kembali ceria seperti di awal cerita. Mereka sepakat menabung uang mereka untuk terbang menuju Paradise Falls. Namun, ada saja halangan yang memaksa mereka memakai tabungan itu untuk keperluan yang lebih mendesak, sampai akhirnya mereka berdua menjadi kakek-nenek. Carl yang menyadari bahwa obsesi mereka belum tercapai, membelikan Ellie tiket ke Amerika Selatan sebagai kejutan. Namun, sebelum kejutan itu tersampaikan, Ellie jatuh sakit dan meninggal dunia. Hal ini menyebabkan Carl kehilangan semangat hidup, menjadi pendiam dan tertutup.

Carl yang kesepian dan sendirian di usia senjanya, bertahan tidak meninggalkan rumah kenangannya bersama Ellie, kendati perusahaan kontraktor mendesak untuk menggusur rumahnya. Segalanya Carl lakukan untuk mempertahankan rumahnya.

Singkat cerita, saat keadaan tidak lagi memungkinkan bagi Carl untuk mempertahankan rumahnya, ia memutuskan pergi berpetualang memenuhi obesesinya, obsesi Ellie. Dasar Carl adalah kakek keras kepala yang sangat menyayangi Ellie, ia membawa rumah tersebut dalam petualangannya. Untuk alasan yang sederhana, Carl ingin berpetualang bersama Ellie dan hanya rumah itulah yang membuatnya dekat dengan Ellie. Carl memenuhi rumahnya dengan balon gas, merakitnya sedemikian rupa hingga rumah beserta isinya terbang bagai pesawat udara. Dan petualangan menuju Paradise Falls-pun dimulai.

Untuk cerita selanjutnya silahkan ditonton sendiri ya.

***
Cerita kehidupan Carl dan Ellie adalah cerita paling humanis dan manis dalam film ini. Scene tanpa dialog tersebut mampu membuat saya tersenyum-senyum sendiri sambil kemudian merenung. Kakek Carl dan Si Kakek Galak dekat rumah saya mempunyai kesamaan yang identik. Keduanya adalah tipikal laki-laki yang menyimpan dan menjaga kenangannya dengan rapih. Karena lebih dari apapun, kenangan bersama istri tercinta adalah harta termewah di usia senja mereka, yang akan mereka jaga walau harus bertaruh nyawa. Ah, puitis.

Post scriptum :
Sejak cerita mama sampai saat ini, setiap saya berpapasan dengan Si Kakek saya selalu menyapa sambil tersenyum. Dan ternyata Si Kakek tidak ketus seperti kelihatannya, dia membalas sapaan saya dan ikut tersenyum, yah walaupun senyumanya tidak manis-manis amat. Long live Kek!








Ah!



Ah, langit Borneo sedang cantik-cantiknya malam ini. Membuat saya betah duduk berlama-lama di teras mess sambil menikmati kopi hitam manis kesukaan. Dengan hikmat saya menyeruput kopi sambil lalu melamun. Besok, 13 Maret, genap setahun saya berada di bawah langit ini, yang dengan kecemerlangan bintangnya mudah saja membuat saya jatuh cinta. Satu tahun ternyata terasa begitu cepat.

“I need to know what's on your mind
These coffee cups are getting cold
Mind the people passing by
They don't know I'll be leaving soon”

16 Maret 2014, saya akan berangkat, terbang ke pulau tempat saya dilahirkan. Menikmati dua minggu cuti tahunan yang berarti bertemu keluarga, sahabat terdekat dan mungkin… ah sudahlah. Sial! Awalnya saya tidak ingin membahas ini, tapi jemari toh tetap mengikuti arahan hati untuk menulis , lagi-lagi, tentang kamu.

“I'll fly away tomorrow
Too far away
I'll admit a cliché
Things won't be the same without you”

Apa bisa kita bertemu? Sekedar melepas rindu tanpa tendensi macam-macam. Silaturahmi pertemanan saja namanya, supaya tidak berarti apa-apa.  Menikmati makan malam sambil berbincang tentang bagaimana kabarmu, bagaimana hidupmu, apapun selain masa lalu. Apa bisa meminta waktumu barang 2-3 jam?

“I'll be looking at my window seeing Adelaide sky
Would you be kind enough to remember
I'll be hearing my own foot steps under Adelaide sky
Would you be kind enough to remember me”

Saya mengambil gitar, menghela nafas dalam sambil menyetem beberapa senar yang bersuara sumbang. Intro Am7 C#m Bm E pelan saya mainkan, lirih melantunkan lagu yang saya tulis sendiri. Lagu “Gadisku” sempurna saya nyanyikan di bawah bintang-bintang Borneo yang kompak membentuk rasi garis senyummu. Saya menyeruput kopi yang mulai agak dingin, lagi dan lagi hingga seruputan terakhir. Kenapa ya saya begitu merindukanmu malam ini? Ah, mungkin karena kamu sedang cantik-cantiknya.



Post scriptum:
Potongan lirik berbahasa inggris di tulisan ini adalah lirik lagu Adithia Sofyan yang berjudul Adelaide Sky. Lagu favorit saya dan dia, objek tulisan ini.




3.3.14

Anggi Hapsari


Currently not in the mood to write but I might write something before the end of this year. Something that is too sweet  about Anggi Hapsari. Here it is…

Saya adalah orang yang percaya dengan konsep jatuh cinta pada pandangan pertama. Padanya , pada pandangan pertama, saya jatuh cinta. Masih ingat jelas apa yang dia pakai saat pertama kali melihatnya dan jatuh cinta. Dia memakai T-Shirt hitam yang bersaing sempurna dengan rambut panjangnya dan bando putih melengkapi kesederhanaan yang istimewa di mata saya. Manis sekali. Masa bodo siapa dia, yang jelas malam itu laki-laki ini bertekad mengenalnya.

Mendoakan surga termewah untuk Mark Zuckerberg, nama dibalik terciptanya Facebook yang termahsyur itu. Masterpiece Mark membuat saya dengan mudah menemukannya. Anggi Hapsari, mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Kebetulan yang menyenangkan, Anggi akan jadi junior saya di Fakultas. Fakta yang jelas akan mempermudah prosedur standar chit-chat ringan berkenalan. 

Kecocokan ber-chitchat via Facebook dan setelah ratusan kali bertukar sms memberanikan saya untuk mengajak Anggi jalan. Menonton GI. JOE di XXI Botani Square adalah kencan pertama kami. Sekali lagi saya masih ingat jelas apa yang Anggi kenakan hari itu. Anggi memakai sweater pink dengan hoodie yang sengaja saya ejek alay untuk menyembunyikan kegugupan saat berada di dekatnya. Saya jelas gugup sekali waktu itu, Anggi terlihat jauh lebih manis dari dekat. Kencan yang lumayan, setidaknya saat itu saya tau Anggi nyaman di dekat saya dan kami memiliki hobi menyenangkan yang sama, menonton film.

Rutinitas di facebook dan sms-an berubah menjadi rutinitas makan malam dan mengantar Anggi pulang. Perlahan kami mengkalibrasi keasingan hingga akhirnya menemukan titik nyaman ideal untuk berdua. Rutinitas dan kenyamanan bersama Anggi menumbuhkan rasa yang menyenangkan, hingga puncaknya saya berani menggenggam tangan dan menciumnya.



Tanpa ada ritual kuno “Kamu mau nggak jadi pacar aku?”, kami jadian. 1 September 2009.



Di suatu senja yang masih muda Anggi pernah bilang “Di depan kamu, aku bisa jadi diri aku sendiri. Aku nyaman soalnya”. Puitis. Ya,  setelah 3 tahun bareng Anggi  saya harus mengakui bahwa Anggi adalah gadis paling manis dan romantis yang pernah ada dalam sejarah hidup saya.

Anggi pernah keliling Jakarta-Bogor membuat kumpulan video ucapan ulang tahun dari Papa, Mama dan sahabat-sahabat saya saat masih di  SD, SMP, SMA sampai kuliah pada ulang tahun saya yang ke-21.

Anggi pernah bergeriliya membujuk teman, senior dan junior dari 5 angkatan berbeda untuk menuliskan testimonial tentang saya pada ulang tahun yang ke-22. 

Anggi, yang saat itu sulit secara finansial, tidak absen membuat kejutan untuk saya. Dia membeli dua kue Bronco sederhana dan menaruh dua lilin di atasnya pada ulang tahun saya yg ke-23. Kue termanis yang pernah saya makan.

Nggak hanya iu, Anggi juga romantis dalam hal-hal yang sederhana. Rutinitas yang tidak pernah tertelan lupa.

Rutinitas memindahkan bawang goreng dari mangkok makanan saya ke mangkoknya (Anggi tau betul saya acapkali mengutuk abang penjual makanan yang memasukan bawang goreng ke mangkok saya).

Rutinitas memberikan tas, jaket, atau apapun yang dia bawa untuk menutupi kepala saya saat gerimis (Anggi paham sekali sensivitas saya terhadap gerimis)

Dan yang paling manis, rutinitasnya memanggil “Aiai” dengan nada yang luar biasa genit sambil lalu tersenyum, manis sekali.



Setelah 3 tahun selalu berdua akhirnya kami sama-sama lulus. Saya memutuskan bekerja di Borneo dan Anggi mencoba peruntungannya mencari kerja di Semarang sambil menjaga Mbah Lik, nenek kesayangannya. LDR berlangsung dengan biasa-biasa saja, sampai saat itu. Dengan kontrak kerja saya, saat itu harusnya saya terus berada di Borneo setahun penuh tanpa kemungkinan bertemu Anggi, tapi Sutradara semesta toh berkata lain. Satu hari sebelum hari ulang tahun saya yang ke-24,. HRD perusahaan mengutus saya ke Pusdiklat Bogor untuk mengikuti pelatihan. Di hari yang sama Anggi juga harus menjalani panggilan interview Bank BRI di Jakarta. Kebetulan yang menyenangkan, lagi-lagi.  Tuhan memang paling ahli dalam membuat drama :)

Untuk merayakan ulang tahun saya, kami memutuskan menunaikan kencan standar seperti saat kuliah dulu. Menonton film dan makan malam. Kami menonton film Fast and Furious 6 di XXI Botani Square, yang ternyata adalah kencan terakhir kami. 

Hari itu saya melewatkan ulang tahun dengan Anggi yang sama, senyum manis yang sama. Masih teringat jelas wajahnya ketika minta dibelikan Pizza malam itu. Seperti biasa, gimik wajah manjanya ketika meminta sesuatu selalu sulit untuk saya tolak. Ditengah tawa yang lepas menikmati Pizza, sekelebat saya melihat Anggi yang lain. Anggi dengan garis wajah yang kuat, tidak manja seperti biasanya, yang akhirnya saya sadari sekarang. Saat itu Anggi seperti telah memutuskan sesuatu. Sesuatu yang dari awal kami pahami resikonya. Bom waktu yang sukses dinonaktifkan selama 3,5 tahun dan nampaknya meledak kali ini. Pikiran saya kembali ke perbincangan masa lalu, saat Anggi bertanya, “Aiai, kita kan beda. Nanti pasti pisah ya?”. Saya menjawab sekenanya “Ehm, nggak tau Aiai. Suatu saat kalo kita udah nggak bisa bahagia berdua, kita harus bisa bahagia sendiri-sendiri. Pokoknya tujuan awal kita bahagia”. Saat itu Anggi tersenyum manis sekali sambil lalu menatap kosong entah kemana. 

Setelah kencan malam itu, kami masih sempat jalan-jalan menikmati kampus yang dahulu jadi saksi betapa bahagianya kami. Bertemu satu dua teman lama yang membangkitkan memori.  Sampai akhirnya pelatihanpun selesai, saya terbang ke Borneo, kembali berpisah daratan dengan Anggi. Saya lupa sejak kapan, tanpa ada ritual kuno “Kita putus aja ya”, akhirnya kami lose contact total. Mungkin garis wajah kuatnya saat itu adalah keputusannya untuk bahagia sendirian.


***


Suara Thom Yorke mengalun lembut membelai malam, dia sendu menyanyikan Fake plastic trees yang sedikit menyindir saya. Hari-hari tanpa Anggi yang mendengarkan, wajah manjanya ketika minta sesuatu, Anggi  yang bawel tentang cara saya berpakaian atau gondrongnya rambut saya. Kenyataan bahwa Anggi sudah tidak lagi bersama saya membuat saya kosong. Ya, saya masih penuh tawa seperti bisasanya, masih sanggup membuat ratusan lelucon konyol yang membuat orang lain tertawa dan akan selalu seperti itu, tapi, seperti judul lagu Radiohead tadi, keceriaan saya saat ini adalah Fake plastic trees. Pohon plastik yang palsu. Jauh sekali di dalam hati, saya menjerit sakit. Saya patah hati.



But now, the world is going around and I’ll be keep standing. I hope with the end of this year, I’ll be able forgotten of you. Happy New year  Anggi Hapsari.





Post scriptum:

Sejak tulisan ini jadi, saya selalu membacanya berulang, saya perbaiki setiap katanya hingga sempurna (menurut saya). Sudah perbaikan yang ke-8 kalau saya tidak salah. Beruntung tidak saya tulis dengan pena di selembar kertas putih, karna mungkin tulisannya akan terhapus dan kertasnya akan rusak. Ehm, keyboard tahan air kan ya?



Karikatur buatan Anggi :)