“Don’t judge the book by it’s cover”
Kutipan
yang termahsyur ini begitu sering dikutip oleh manusia di berbagai belahan bumi
manapun. Kutipan yang menganalogikan manusia sebagai buku dan penampilan
sebagai cover buku. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.
Satu
tahun di Borneo dengan terpaksa saya harus mengutip kutipan mainstream ini.
Tidak sudi sebenarnya, tapi harus diakui orang ini adalah contoh hampir
sempurna (karena kesempurnaan hanya milik Tuhan semata) untuk kutipan di atas.
Sriyo Ado Arta Tampubolon.
Saya
tidak menyangka bisa berkawan dengan pria asal Medan ini. Di kampus kami hanya
sama-sama tau, tidak intim seperti saat ini di Borneo, tempat kami bekerja.
Intim adalah parameter saya dalam mengukur standarisasi perkawanan. Contoh:
Sebuah perkawanan dinilai sangat kuat jika kita sudah nyaman saling meremas
pantat masing-masing. Sering.
Deskripsi
pertama saat melihat Sriyo adalah laki-laki berwajah preman, bergaya urakan
dengan penampilan yang asal-asalan. Anak buah John Key adalah deskripsi yang
pas untuknya. Saya menyimpulkan hal ini tidak sendirian, beberapa teman yang
mengenal Sriyo juga mengamini hal ini.
Saya
sering berdiskusi,
ah maaf maksud saya meminta saran, pada Sriyo. Dan saran-saran yang keluar dari
pikirannya sangat tidak berkorelasi dengan penampilannya. Sriyo selalu mampu
memberi masukan yang cemerlang sekaligus memotivasi. Harus saya akui dengan
berat hati, pria bermuka preman satu ini sebijaksana Raja Salomo. Saya masih
ingat sebuah diskusi singkat dengannya tentang “Persembahan” pada suatu malam
yang senggang.
“Mbonk, gue pernah denger di lirik lagu , lupa
judulnya apa, bahwa segala sesuatu yang kita berikan ke Tuhan itu harus yang
terbaik. Abis denger dan memahami lagu itu, setiap gue persembahan, pasti gue
ngasih yang terbaik dari dompet gue. Nggak mesti semua, Tuhan juga pasti
ngerti, tapi yang terbaik. Nilai uang yang paling besar di dompet gue.”
Saya
hanya bisa diam dan mengamini dalam hati. Sejak itu, saya juga melakukan hal
serupa.
Soal
cinta Sriyo juga nggak kalah bijak.
“Yaelah Mbonk, kalo cinta lo datar-datar aja nggak
ada yang bisa lo certain ke anak cucu lo nanti. Perjuangin. Nggak perlu
menunggu tangan yang harus saling bertepuk. Kejar terus! siapa tau tangannya
sedang menunggu tangan lo untuk menepuknya. Mungkin dia cuma mau lihat seberapa
keras lo memperjuangkan dia”. Lagi-lagi
saya hanya terdiam, merenung lalu tersenyum optimis. Bangsat betul memang orang
Medan satu ini.
Sriyo
adalah salah satu hal asik yang saya temukan di Borneo. Dia mengajari tapi
tidak menggurui, dalam segala ketaitaian-nya dia sangat perhatian, figur kawan
serupa kakak yang selalu bisa diandalkan, juga partner berbuat jahat. Tidak
melebih-lebihkan, saya belajar banyak dari laki-laki berwajah preman ini.
Sangat banyak. Jangan salah sangka, saya bukan HOMO! Hanya sekedar ingin sharing bahwa kualitas
seseorang tidak melulu dilihat dari penampilan dan latar belakangnya. Bahkan
Tuhan Yesus, yang sejatinya adalah Pencipta alam semesta, lahir ke bumi di
kandang domba dan tumbuh dewasa dengan penampilan yang urakan toh? Gondrong dan
brewokan…hehehe. Dengan penampilan dan latar belakangnya, Tuhan Yesus sempat
dianggap remeh banyak orang sampai akhirnya mereka toh sadar bahwa Tuhan Yesus
adalah Juru Selamat Dunia.
Mbonkkk..
BalasHapusKeren banget ce lw.. Terharu gw tw gaaaa? Bisa2nya seorang Seniman Yogyakarta Jhon Sandi Lembong berkamuflase, eh salah bercerita demikian. Kangen gw dengan masa2 ketaik-taikan kita dulu.. I miss u n meteran, cangkul, dodos, bor biophory.. Hikzzz