12.3.14

Sriyo Ado Arta Tampubolon



“Don’t judge the book by it’s cover”


Kutipan yang termahsyur ini begitu sering dikutip oleh manusia di berbagai belahan bumi manapun. Kutipan yang menganalogikan manusia sebagai buku dan penampilan sebagai cover buku. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Satu tahun di Borneo dengan terpaksa saya harus mengutip kutipan mainstream ini. Tidak sudi sebenarnya, tapi harus diakui orang ini adalah contoh hampir sempurna (karena kesempurnaan hanya milik Tuhan semata) untuk kutipan di atas. Sriyo Ado Arta Tampubolon.

Saya tidak menyangka bisa berkawan dengan pria asal Medan ini. Di kampus kami hanya sama-sama tau, tidak intim seperti saat ini di Borneo, tempat kami bekerja. Intim adalah parameter saya dalam mengukur standarisasi perkawanan. Contoh: Sebuah perkawanan dinilai sangat kuat jika kita sudah nyaman saling meremas pantat masing-masing. Sering. 

Deskripsi pertama saat melihat Sriyo adalah laki-laki berwajah preman, bergaya urakan dengan penampilan yang asal-asalan. Anak buah John Key adalah deskripsi yang pas untuknya. Saya menyimpulkan hal ini tidak sendirian, beberapa teman yang mengenal Sriyo juga mengamini hal ini.
Saya sering berdiskusi, ah maaf maksud saya meminta saran, pada Sriyo. Dan saran-saran yang keluar dari pikirannya sangat tidak berkorelasi dengan penampilannya. Sriyo selalu mampu memberi masukan yang cemerlang sekaligus memotivasi. Harus saya akui dengan berat hati, pria bermuka preman satu ini sebijaksana Raja Salomo. Saya masih ingat sebuah diskusi singkat dengannya tentang “Persembahan” pada suatu malam yang senggang.

“Mbonk, gue pernah denger di lirik lagu , lupa judulnya apa, bahwa segala sesuatu yang kita berikan ke Tuhan itu harus yang terbaik. Abis denger dan memahami lagu itu, setiap gue persembahan, pasti gue ngasih yang terbaik dari dompet gue. Nggak mesti semua, Tuhan juga pasti ngerti, tapi yang terbaik. Nilai uang yang paling besar di dompet gue.”

Saya hanya bisa diam dan mengamini dalam hati. Sejak itu, saya juga melakukan hal serupa.
Soal cinta Sriyo juga nggak kalah bijak. 

“Yaelah Mbonk, kalo cinta lo datar-datar aja nggak ada yang bisa lo certain ke anak cucu lo nanti. Perjuangin. Nggak perlu menunggu tangan yang harus saling bertepuk. Kejar terus! siapa tau tangannya sedang menunggu tangan lo untuk menepuknya. Mungkin dia cuma mau lihat seberapa keras lo memperjuangkan dia”. Lagi-lagi saya hanya terdiam, merenung lalu tersenyum optimis. Bangsat betul memang orang Medan satu ini. 

Sriyo adalah salah satu hal asik yang saya temukan di Borneo. Dia mengajari tapi tidak menggurui, dalam segala ketaitaian-nya dia sangat perhatian, figur kawan serupa kakak yang selalu bisa diandalkan, juga partner berbuat jahat. Tidak melebih-lebihkan, saya belajar banyak dari laki-laki berwajah preman ini. Sangat banyak. Jangan salah sangka, saya bukan HOMO!  Hanya sekedar ingin sharing bahwa kualitas seseorang tidak melulu dilihat dari penampilan dan latar belakangnya. Bahkan Tuhan Yesus, yang sejatinya adalah Pencipta alam semesta, lahir ke bumi di kandang domba dan tumbuh dewasa dengan penampilan yang urakan toh? Gondrong dan brewokan…hehehe. Dengan penampilan dan latar belakangnya, Tuhan Yesus sempat dianggap remeh banyak orang sampai akhirnya mereka toh sadar bahwa Tuhan Yesus adalah Juru Selamat Dunia.

If you judge a book by its cover, you might miss out on an amazing story.

 

***

1 komentar:

  1. Mbonkkk..

    Keren banget ce lw.. Terharu gw tw gaaaa? Bisa2nya seorang Seniman Yogyakarta Jhon Sandi Lembong berkamuflase, eh salah bercerita demikian. Kangen gw dengan masa2 ketaik-taikan kita dulu.. I miss u n meteran, cangkul, dodos, bor biophory.. Hikzzz

    BalasHapus